RSS
email

Pontianak Punye Cerite


Udah lama punya utang cerita tentang Pontianak, sampe akhirnya meninggalkan Pontianakpun cerita itu belum terpublikasi di blog ini. Pertama kali dengar kalau aku ditempatin di Pontianak,yang terlintas di benak adalah Tugu khatulistiwa, Kuntilanak dan Hutan pedalaman suku Dayak. Oh ya...dan santet. Nggak terbayang bahwa jaman sudah modern. Pontianakpun pasti telah berkembang sebagaimana kota-kota lainnya.
Yang pasti, dari segi legenda, sudah tersebar kalau kata Pontianak memang berarti Kuntilanak. Hal itu nggak bisa lepas dari cerita asal mula Kota Pontianak yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al Kadrie (putra Al Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal Arab).
Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat kediaman baru. Mereka berangkat menyusuri Sungai Peniti. Waktu dzuhur mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana.
Namun Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan sembahyang dhohor itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, dimana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak (Kuntilanak). Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu dengan meriam. Sebelum peluru meriam dimuntahkan, beliau bernazar “di mana peluru meriam jatuh, di situlah akan didirikan kesultanan”. Ikrar itu dilaksanakan. Kegiatan membunyikan Meriam Karbit ini pun di kota Pontianak dilestarikan secara turun-temurun sampai sekarang. Tapi, bukan untuk mengusir hantu, melainkan untuk perayaan hari-hari besar, seperti Ramadhan, Lebaran, dan Tahun Baru.

Peluru tersebut jatuh di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, Syarif Abdurrahman membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Mesjid Jami dan Keraton Kadariah. Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya’ban 1192 Hijriah,bertepatan dengan hari isnen dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie. Keraton dan Masjid ini, sampai sekarang masih ada dan bisa kita kunjungi. Ada yang merawat. Cuma rasanya masih kurang aja. Kalau lebih bersih pasti lebih bagus. Kalau berkunjung ke sini, jangan lupa siapkan juga uang untuk para peminta-minta yang siap mengerumuni saat kita keluar dari sana.

Tempat berdirinya keraton dan masjid Jami' tersebut sekarang ini terkenal dengan nama Kampung Beting, dimana bagian belakang kampung ini berada tepat di atas sungai Kapuas yang menjadi sumber kehidupan mereka. Tiap-tiap bangunannya dihubungkan dengan jembatan kayu (gertak). Bahkan, berdasarkan cerita, di Bulan Desember saat air pasang air bisa masuk ke rumah hinggga setengah meter.
Sebenarnya, berjalan menyusuri gertak di kampung ini pengalaman yang menarik. Apalagi pas sunset di hari cerah. Sayang banyak bagian yang tampak kumuh. Dan kalo pagi/sore pastinya banyak yang melakukan kegiatan MCK di sini. Ironisnya sih image yang saat ini melekat pada Kampung Beting. Kampung ini dikenal sebagai Texas-nya Pontianak. Tindak kriminalitas di kawasan ini sangat tinggi, terutama yang berkaitan dengan narkotika dan pencurian. cerita ini kebetulan terdengar sendiri dari salah seorang pegawai Puskesmas yang berada di sana. Penjahat kelas kakap dan transaksi narkoba bernilai milyaranpun bisa terjadi di sini. Nggak heran kalau kawasan ini jadi incaran intel, bahkan namanya terkenal sampai Mabes Polri (kata seorang sopir taksi). Bahkan, kata si sopir taksi itu, kalau ada pelanggan yang meminta diantar ke kampung Beting di malam hari sebisa mungkin ditolaknya. Ketika memasuki kampung ini, jangan heran dengan kendaraan yang tetap laju. Pun ketika lampu merah menyala. :D

Secara keseluruhan, kehidupan masyarakat sendiri sangat beragam. Karna memang multietnis yang hidup di sini. Melayu, Dayak, Tionghoa, Madura, Bugis dan Jawa. Kalau soal SARA, memang di sini agak rentan. Tapi secara umum kerukunan antar etnis masih terjaga. Meskipun kadang terlihat tersekat-sekat. Tapi keanekaragaman ini sendiri sebenernya memperkaya budaya di Pontianak. Upacara adat masing-masing memliki kekhasan tersendiri yang menarik wisatawan. Ada robo-robo (Mempawah, Kabupaten Pontianak) ritual pengingat kiprah mpu daeng manambon mempersatukan berbagai etnis menjadi satu di Kerajaan mempawah (sekarang Kabupaten Pontianak), Gawai Dayak (perayaan panen suku Dayak). Biasanya suka ada Pawai keliling kota dan pameran di Rumah adat dayak (jalan. Sutoyo), Trus ada juga perayaan Cap Go Meh (Etnis Tionghoa, Bahasa Hokkian) pada hari ke 15 tahun baru cina (imlek). Ramenya si mulai dari sebelum imlek sampai Cap Go Meh. Cap Go Meh ini puncaknya. Biasanya ditutup dengan arakan tatung keliling kota. Cuma kalau di Pontianak, untuk lebih menertibkan dan menghindari orang yang memanfaatkan suasana (untuk memancing kerusuhan) perayaannya nggak lagi keliling kota. Tapi dipusatkan di wilayah tertentu aja. Truz untuk tahun ini (2011) Malemnya ada arak2an naga bersinar dan kembang api.

Perayaan Cap go meh ini lebih rame sih di Singkawang. Terutama arak-arakan tatungnya. Beberapa hari sebelum Cap Go Meh, tatung-tatung (baik tatung anak-anak, tua, muda, laki-laki dan perempuan) dari kelenteng kecil dan lebih muda berkunjung ke kelenteng yang lebih tua. Trus pagi hari ke 15-nya para tatung dengan berbagai macam kostum (biasanya kostum jenderal perang) akan berkumpul untuk bersembahyang kepada langit di altar yang telah disediakan. Setelah itu, mereka berkeliling untuk ‘membersihkan kota dari segala mara bahaya’. Aura mistik bakal kerasa. Karna bau dupa dan Tatung yang kerasukan yang menampilkan atraksi kebal. Ditandu dan duduk/berdiri di atas golok, menusukkan paku/besi/entah apa ke mulut. Ngeri juga si kalo ngeliat, makanya aku gak berani liat langsung.

Jadi selama beberapa hari sebelum Cap go Meh biasanya kita bakal ketemu beberapa rombongan tatung yang sedang berkunjung. Dan kelenteng tertua di sini adalah kelenteng di tengah kota. Kelenteng Tri Dharma Bhumi Raya. So, jangan kaget kalau di sana beberapa hari sebelum Cap Go Meh ketemu beberapa rombongan (naik kendaraan atau jalan kaki) dengan music khasnya (yang kayak gong itu loh…) seliweran dimana-mana. Juga bau dupa yang akan tercium sampe kemana-mana. Aura mistiknya bakal kerasa banget.
Menurut cerita salah satu orang Singkawang yang aku temui, Tatung itu bukan sembarangan. Biasanya mereka keturunan atau mendapatkan bisikan dari dewa. Tapi, kehidupan tatung sehari-hari jauh dari hingar binger kemeriahan Cap Go Meh. Sebagian besar mereka sih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka yang hidup di Klenteng (Pek Kong) mendapatkan rejeki kalau ada orang datang berobat atau minta didoakan. Selain itu ya kerja apa aja. Yang menjadi keprihatinan si ibu ini (yang bercerita) kadang, anak kecil yang menjdi tatung ini terpaksa minum arak untuk mempermudah roh masuk ke tubuhnya. “Kadang kasihan mbak, liatnya. Tapi ya bagaimana itu kan tradisi”

Whelehh. . . . . lanjutin lagi ya ceritanya. Mmm. . . .apa lagi ya yang belum diceritain?

Oh, yaa. . . .soal etnis ya tadi. Oke dech. Lanjut.

Etnis Dayak adalah etnis asli Kalimantan. Mereka (dulunya) hidup di pedalaman dan bertahan hidup dengan berburu dan berladang (berpindah). Makanya, untuk saat ini mayoritas masyarakat Dayak tinggal di daerah Melawi, Bengkayang, Mempawah (daerah anjungan), Landak, Sintang, Sanggau, Sekadau dan Kapuas hulu. Dulu, dalam pikiran sebagian besar orang (terutama di Pulau Jawa) menganggap bahwa Masyarakat Dayak itu primitive, suka makan orang dan aura mistik di masyarakatnya kuat. Cuma, sekarang kan udah tahun 2011. Mereka juga butuh pendidikan dan kehidupan yang lebih baik. Jadi mereka sudah tersebar di mana-mana. Lagipula, sejak jaman dulu mereka toh punya slogan yang sekarang sering dipake di spanduk-spanduk kalo ada perayaan tertentu. “Adil Ka’ Talino Bacuramin Ka’ Saruga Basengat Ka’ Jubata” yang artinya kurang lebih bersikap adil dan toleran terhadap sesama, dalam menjalani kehidupan harus bercermin dari surga dan setiap nafas kehidupan yang kita miliki berasal dari TUHAN YANG MAHA KUASA. (Kata ini pertama kali tau pas menyusuri jalan Tayan. Dicegat orang di tengah jalan dan dibagi selebaran yang atasnya ada salam itu). Ngomongin etnis ini, jadi inget dengan obrolan dengan seorang pejabat daerah yang kebetulan beretnis Tionghoa. Dia bilang, kehidupan budaya sekarang makin bergeser. Kalau dulu, kehidupan antar etnis itu berjalan dengan baik. Saling rukun dan tolong menolong. Ketika terjadi kerusuhan antar etnis, sebenarnya dipicu oleh beberapa oknum saja, dengan masalah sepele. Cuma akhirnya menyebar dan membesar. Selain itu, sekarang, mereka (beberapa/oknum) lebih mengedepankan sisi materialistis, dan adat hanya dijadikan sebagai senjata. 

Yaaaahhh.....Kalau dipikir-pikir sih, sekarang ini gampang banget kita ketemu yang kayak gitu. Bukan cuma etnis Dayak aja. Tapi hampir semua. Hffft. . . . .

Etnis melayu merupakan etnis pendatang yang menyebarkan ajaran Islam. Jadi sebagian besar asal mula hidup di pantai atau pesisir sungai. Hal itu terlihat dari kerajaan-kerajaan di Kalbar yang berada di pesisir sungai. Dalam perjalanannya,merekapun sudah berbaur dengan penduduk asli dan pendatang lainnya. Bahkan banyak masyarakat Dayak dan Tionghoa yang menjadi muslim. Untuk orang Dayak yang berpindah agama, mereka tidak lagi menyebut dirinya Dayak. Tapi Melayu. Seperti yang diceritakan Bapak Kos dan ibu-ibu dari Menukung, Melawi yang kebetulan di daerahnya sebagian besar warganya adalah Dayak Muslim. (Makanya kok nggak liat banyak anjing waktu berkunjung ke sana).

Etnis Tionghoa dengan beragam tingkatan kehidupan dan strata sosial bisa ditemui di sini. Mulai dari yang miskin, menengah atau kaya juga ada. Kalo naek oplet (pas lagi jam rame) di Pontianak, berasa di negeri manaa. . . . . gitu. Bahasa campur aduk. Melayu, Khek,Tio Ciu, Madura atau bahkan Jawa bisa ditemui. Kalau di Jawa, sebagian besar nama Tionghoa sudah berubah menjadi nama yang Indonesia atau keJawa2an. Tapi kalau di sini, nama asli dengan marga masih banyak sekali ditemui. Bahkan, baru nemu di sini etnis tionghoa menjadi PNS dan pejabat pemerintahan di Indonesia. Dan pejabat-pejabat dari etnis ini (yang sebagian besar berakar bukan di pemerintahan, tapi di swasta) memiliki pemikiran yang luar biasa. Jadi visi misi mereka itu pas banget sebenernya kalau benar-benar diterapkan. Ini pendapat pribadi ya, dan hanya berdasarkan ngobrol-ngobrol. Bukan berdasarkan survey mendetail :D
Oh ya, satu lagi. Karna di sini etnis Tionghoa cukup banyak, hal yang mudah kalau mau mencari klenteng atau makanan khas tionghoa kayak chai kue (choi pan), kwetiau (mie tiaw), bubur ikan, le tau suan, bubur kepiting,dll. Oh ya, berhubung di sini etnis Tionghoa dan Dayak banyak, untuk muslim yang cari makan hati hati ya. Terutama kalau di daerah Jalan Gajah Mada. Karna banyak makanan non halal di sini. Sangat dianjrkan liat logo halal atau tanya2 ke penduduk yang di situ sebelum makan. Selai itu, di sini, aku banyak nemu yayasan-yayasan yang punya pasukan pemadam kebakaran. Dalam setiap kebakaran yang terjadi, pasti mereka yang turun.

Etnis Madura. Ngomongin soal Kalbar nggak bisa dipisahkan dari keberadaan etnis ini di dalamnya. Apalagi jika mengingat pernah adanya konflik besar antar etnis yang melibatkan etnis ini.
Dalam pikiran sebagian besar suku Melayu sumber konflik terjadi karena perilaku orang-orang Madura tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat suku Melayu dan Dayak karena gampang melanggar hukum, seperti mengambil milik orang melayu, menyerobot tanah, arogan, menangnya sendiri, dan mudah menggunakan senjata tajam (clurit), serta membawa kelompoknya dalam menyelesaikan hampir pada setiap konflik. Perbenturan sering terjadi, saat orang Melayu sering tidak mengerti argumen pembelaan sepihak yang disampaikan orang-orang Madura dan kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan (Carok atau menggunakan clurit).

Argumen yang dipandang aneh yang sering didengar dalam perselisihan yang menyangkut tanah, tanaman, kasus pencurian. Misalnya argumen kalo buah-buahan dan rumput di kebun tumbuh karena Tuhan. Maka jangan disalahkan kalau orang mengambil buahnya. Kalo ada kasus pencurian barang di pekarangan orang Melayu yang pelakunya orang Madura, dibilang kalo orang Madura diperbolehkan mengambil barang-barang di luar rumah, jika memang pemiliknya sudah berkecukupan. Pencurian ayam yang dipastikan selalu dilakukan oleh orang Madura, sampai ada semacam pameo “waktu masih kecil milik orang Melayu, setelah besar (berharga) milik orang Madura”. Kalau pencurian di dalam rumah, selalu muncul alasan bahwa mengambil milik orang lain di dalam rumah diperbolehkan, asal pemiliknya memperbolehkannya. Kalo ketangkep, orang Madura hanya mengembalikan barang itu, karena menganggap pemiliknya melarang barang itu diambil.
Di sisi lain, Orang Madura adalah pekerja keras dan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebagian besar pemecah batu dan sopir oplet adalah orang Madura. Itu yang orang Melayu tidak bisa tandingi. Makanya, sekarang ini bahan bangunan di Sambas relatif lebih mahal karena harus mengambil batu pecahan dari Singkawang. FYI, sampai saat ini, Sambas masih tidak memperbolehkan orang Madura memasuki wilayahnya.
Kalo di Pontianak, etnis ini masih banyak ditemui. Terutama di Gang Kos-ku yang merupakan relokasi korban kerusuhan. Well, tapi menurutku, cap orang Madura begini begitu, orang Melayu itu begini, atau Orang Dayak itu begitu itu hanya stereotipe belaka. Selama ini ketemu juga orang Dayak, Madura atau Melayu yang baik2. Dan sering terbantu oleh mereka.

Cuman ada satu kendala nich. Kalau ada orang berkunjung ke pontianak dan nanya “Di sini objek wisatanya apa?” Naaaa. . . . bingung dech. Paling diajak ke Tugu. Atau ke Serasan. Tempat makan sambil menyusuri Sungai Kapuas. Apa lagi yaaa. . . . Biasanya si kantor kalo ada tamu langsung bawa ke Singkawang. Hohoho. . . . . . .
Udah dech. . . .sekian cerita dari Pontianaknya. Cerita ini bersumber dari Wikipedia, Bapak Kos, Pengamatan sekilas (pribadi) dan hasil ngobrol-ngobrol. :D

Bookmark and Share

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mengenai nama batu layang sendiri sebenarnya tidak ada kaitan dengan pulau kecil tersebut namun pulau tersebut orang lebih lazim menyebutnya pulau wangkang, diera tahun 70 an, masih terdapat bekas tiang kapal dipulau tersebut, nama batu layang sendiri diambil nama batu di tanjung disekitar kompleks pemakaman sultan pontianak dimana sebelum kita sampai ke tanjung itu ada kompleks bebatuan dipinggir sungai kapuas ada meriam tua dan tumpukan batu besar seperti bukit serta dari batu tersebut menjorok ke tengah sungai sampai ada batas berupa besi . Dari Sepanjang batu yang menjorok ke tengah sungai ada diantaranya yang tidak sampai ke Dasar Sungai atau menggantung, atas dasar itulah masyarakat menyebutnya batulayang.Jadi Kalau nama kelurahan Batu layang bukan dari nama pulau, semoga bermanfaat.

 

Friends

Categories